Kamis, 24 Oktober 2013

Pidato Bung Karno yang Melintas Jaman

Siapa yang tidak kenal Ir. Soekarno? Sang Proklamator dan Presiden Pertama Republik Indonesia ini tak hanya menjadi tokoh bangsa Indonesia, tetapi juga merupakan tokoh dunia internasional. Sepak terjangnya dalam membawa Indonesia menuju kemerdekaan serta mengupayakan perdamaian dunia telah membuat Bung Karno dikenang sebagai sosok yang luar biasa.

Bung Karno juga dikenal dengan pidato-pidatonya yang dahsyat, baik dari cara beliau membawakan maupun isi dari pidato tersebut. Buku “Bung Karno Sang Singa Podium” karya Rhien Soemohadiwidjojo ini berisi kumpulan pidato-pidato pilihan yang pernah disampaikan Bung Karno yang disampaikan sejak jaman perjuangan merebut kemerdekaan hingga di akhir masa pemerintahan beliau. Buku ini diawali dengan ringkasan biografi Bung Karno sejak awal kelahiran beliau, masa muda beliau, awal beliau mulai bergabung dalam pergerakan nasional, masa-masa beliau di pembuangan, peran beliau pada masa pendudukan Jepang, proklamasi kemerdekaan, masa mempertahankan kemerdekaan, hingga akhir masa pemerintahan beliau dan akhir hayat beliau. Tak lupa disertakan juga berbagai kisah tambahan yang terkait Bung Karno, termasuk tulisan-tulisan beliau, istri-istri beliau dan berbagai karya seni yang diprakarsai oleh Bung Karno, untuk mengenal sosok Bung Karno lebih dekat.

Ruh dari buku ini ada pada bab kedua, yang mengulas secara komprehensif pidato-pidato Bung Karno, mulai dari kapan dan bagaimana Bung Karno belajar berpidato, pergerakan tema pidato Bung Karno dari masa ke masa, serta rahasia pidato Bung Karno dan “ritual” yang biasa dilakukan Bung Karno sebelum berpidato. Salah satu hal yang diulas dalam bab ini adalah proses penyusunan naskah pidato kenegaraan yang dilakukan oleh Bung Karno. Sebagai orator, Bung Karno terbiasa melakukan pidato secara spontan, namun untuk pidato kenegaraan yang dibacakan setiap tanggal 17 Agustus, Bung Karno membutuhkan waktu khusus untuk menyusun pidato kenegaraan tersebut. Sebagai hasilnya adalah rangkaian pidato kenegaraan yang berkesinambungan dari tahun ke tahun, dengan topik nasionalisme dan kesejahteraan bangsa yang masih relevan hingga saat ini. Dalam bab ini dikisahkan pula reaksi pendengar terhadap pidato Bung Karno, serta orang-orang yang berperan penting dalam pidato Bung Karno, termasuk ajudan dan para penerjemah.

Bab ketiga hingga bab ketujuh berisi kumpulan pidato Bung Karno, yang dibagi menjadi 5 bagian, yaitu pidato pra-Proklamasi, pidato pada masa Proklamasi dan Perang Kemerdekaan (1945-1949), pidato pada masa 1950-1958, pidato pada masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), dan pidato pasca peristiwa G 30 S tahun 1965. Pembagian ini dimaksudkan agar pembaca dapat melihat benang merah dan pergerakan tema pidato Bung Karno dari masa ke masa dengan lebih jelas. Sedangkan Bab kedelapan atau bab penutup berisi kumpulan kutipan (quotes) Bung Karno baik yang bersumber dari pidato beliau maupun berasal dari tulisan beliau.

Data Buku :
Judul: Bung Karno – Sang Singa Podium
Penulis : Rhien Soemohadiwidjojo
Penerbit : Second Hope
Terbit : Yogyakarta, Oktober 2013
ISBN : 9786027760622
Harga : Rp 78.000,-


 Note: posting orisinil dimuat di http://iidn.org

Senin, 27 Mei 2013

Rumah Si Pitung, Warisan Sejarah dan Budaya di Pesisir Jakarta

Rumah Si Pitung merupakan obyek wisata sejarah dan budaya yang terletak di Marunda Pulo, Cilincing, Jakarta Utara, kurang lebih di belakang STIP (Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran) Marunda. Bangunan ini merupakan salah satu peninggalan budaya masyarakat pesisir di abad ke-19, dan berdasarkan peraturan Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 9 tahun 1999 telah ditetapkan sebagai Benda Cagar Budaya.

Walaupun disebut Rumah Si Pitung, namun bangunan ini bukan rumah kelahiran atau milik keluarga Pitung, jawara Betawi yang terkenal akan perjuangannya melawan ketidakadilan penguasa Hindia Belanda. Rumah panggung bergaya arsitektur Bugis yang berada di lahan seluas 700 meter persegi tersebut sebenarnya milik Haji Syafiuddin, pengusaha “sero”. Menurut kisah yang dituturkan secara turun temurun oleh masyarakat setempat, rumah ini pernah dirampok oleh Pitung.

Untuk mencapai Rumah Si Pitung, bisa menggunakan angkot atau kendaraan pribadi. Jika menggunakan angkot, turun di kampus Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Marunda, Jl. Marunda Makmur, Cilincing, kemudian telusuri ruas jalan di samping kampus menuju ke arah pantai. Kurang lebih 300 meter dari jalan raya, terdapat lapangan yang bisa digunakan untuk parkir kendaraan pribadi. Dari lapangan tersebut, lanjutkan perjalanan melewati jembatan beton yang melintas di atas sungai Blencong. Kurang lebih 300 meter dari jembatan sungai Blencong, terdapat sebuah rumah panggung dicat warna merah delima dan diberi pagar pengaman. Itulah Rumah Si Pitung.



Dari sumber yang mengatakan bahwa rumah tersebut dirampok pada tahun 1883, maka diperkirakan rumah panggung tersebut didirikan pada awal abad ke-19. Saat didekati, terlihat rumah sepanjang 15 meter dengan lebar 15 meter ini ditopang oleh 40 buah tiang setinggi 2 meter, yang diletakkan di atas landasan beton setinggi 50 cm. Peninggian ini dilakukan untuk mencegah air pasang atau banjir rob menggenangi rumah tersebut, mengingat rumah ini hanya berjarak 50 meter dari bibir pantai.


Untuk memasuki Rumah Si Pitung, pengunjung harus menaiki tangga di bagian depan rumah. Selama berada di bagian dalam rumah pengunjung harus berhati-hati, karena bagian dalam rumah ini agak pendek, hanya setinggi 2 meter. Saat ini rumah tersebut sudah dipasangi listrik, sehingga tidak menimbulkan kesan angker. Di dalam rumah terdapat perabot khas gaya Betawi, seperti kursi tamu, tempat tidur, meja rias, dan peralatan dapur. Sebagian perabot kuno ini bukan merupakan benda asli dari Rumah Si Pitung, melainkan sumbangan dari berbagai pihak.


Note : dimuat di tabloid Jakarta Baru edisi 29 April 2013

Sabtu, 25 Mei 2013

Menyebar Virus Travel Writing Bersama IIDN

Travel Writing. Istilah ini mungkin terdengar baru, namun sebenarnya sudah dilakukan sejak masa silam. Genre ini menitikberatkan tulisannya tentang sebuah tempat atau daerah dan perjalanan menuju dan selama berada di tempat tersebut. Gaya penulisan travel writing pun bermacam-macam, mulai dari yang naratif hingga deskriptif, dari tulisan jurnalistik hingga karya sastra, dan bahkan bisa ditulis secara ringan hingga sangat serius. Saat ini travel writing biasanya diasosiasikan dengan perjalanan wisata, dengan tujuan memberikan informasi mengenai destinasi wisata tersebut kepada pembacanya.

Travel writing ternyata tidak semata-mata berbentuk trip guide, yang menuliskan tentang deskripsi tempat wisata, data-data teknis, dan cara menuju ke sana. Bentuk travel writing sangat banyak, namun yang dianggap sebagai jenis travel writing yang banyak dimuat di media adalah travel feature. Travel feature umumnya berbentuk artikel, dan diulas dari sudut pandang orang pertama, atau penulis sebagai pelaku perjalanan. Ciri khas dari artikel feature adalah sentuhan personal tentang aktivitas dan perasaan penulis selama melakukan perjalanan.

Sejak tahun 2005 saya membuat artikel travel writing, dengan menggabungkan ketiga hobi saya yaitu travelling, foto-foto, sama menulis. Namun saat itu artikel saya masih bercampur baur antara trip guide dan travel feature. Baru setelah saya mengikuti kursus travel writing di tahun 2009, tulisan-tulisan travelling saya menjadi semakin bervariasi. Artikel-artikel ini masih terbatas diterbitkan di majalah internal korporat, karena saya belum percaya diri untuk mengirimkan artikel-artikel saya ke media-media yang cakupannya lebih luas.

Saat saya bergabung dengan Komunitas Ibu-Ibu Doyan Nulis (IIDN) pada awal tahun 2011, di pertengahan tahun 2011 ada pengumuman kebutuhan penulis untuk proyek pembuatan Kamus Wisata Indonesia. Tertarik dengan proyek tersebut karena sangat berkaitan dengan travel writing, saya pun bergabung. Niat semula hanya menulis beberapa artikel tentang DKI Jakarta, namun karena masih banyak tulisan-tulisan yang dibutuhkan, pada akhirnya saya menulis tidak kurang dari 95 artikel untuk mensupport proyek tersebut. Pengalaman mengerjakan proyek Kamus Wisata Indonesia bersama Komunitas IIDN ini membuat pengalaman saya dalam travel writing menjadi lebih kaya, selain saya juga mendapat kesempatan berkenalan dengan ibu-ibu yang canggih dalam menulis.

Februari 2012, saya ikut kopi darat Komunitas IIDN wilayah Jabodetabek. Di sinilah untuk pertama kalinya saya bertemu sosok Indari Mastuti, pemilik Agensi Naskah Indscript Creative sekaligus pendiri Komunitas IIDN yang selama ini hanya saya temui di dunia maya. Sayang sekali, dalam acara kopi darat tersebut, saya belum berhasil bertemu Lygia Pecanduhujan, markom dari IIDN yang selama ini tulisan-tulisannya selalu berkibar di Komunitas IIDN. Usai acara, setiap peserta diminta untuk mengumpulkan proposal outline buku. Semula saya tidak terpikir untuk mengumpulkan karena sedang menunggu ide, namun desakan dari panitia yang terus menerus menelfon agar saya mengumpulkan proposal outline buku pun membuat saya akhirnya mengumpulkan proposal buku tersebut.

Sempat bingung, buku seperti apa yang mau saya buat berikutnya? Apakah buku ketrampilan? Saat itu ide saya sedang buntu, dan saya tahu sebuah buku ketrampilan membutuhkan usaha yang tidak sedikit, karena tidak hanya membuat tulisan, tetapi kita juga harus menyiapkan contoh barang dan fotografinya. Akhirnya setelah merenung beberapa lama, saya mendapat ide untuk menulis tentang Travel Writing. Ide ini muncul dari kenyataan di mana hingga saat ini sudah banyak guide book dan buku kisah perjalanan yang diterbitkan, namun belum banyak yang menulis mengenai cara menulis travel feature dan foto perjalanan secara komprehensif.

Gayung bersambut, kurang lebih 2 bulan kemudian, sebuah penerbit major sedang membutuhkan banyak naskah perjalanan, dan mbak Indari Mastuti membuat pengumuman proposal mana saja yang diterima penerbit major tersebut. Rupanya proposal buku Travel Writing saya ikut disetujui! Dalam waktu 1 bulan, saya ngebut menyelesaikan buku tersebut, dan menyerahkannya kembali pada Indscript Creative untuk ditindaklanjuti.

Sambil menunggu buku Travel Writing diterbitkan, saya kembali aktif memantau informasi di Komunitas IIDN. Kalau ada audisi antologi, iseng-iseng saya mencoba ikut, dan lebih sering tidak terpilih. Tapi tidak masalah, karena setelah saya pikirkan lagi, yang penting adalah menambah jam terbang, kalau tulisannya terpilih, itu bonus. Salah satu “bonus” yang akhirnya saya dapatkan adalah masuk sebagai kontributor buku Hot Chocolate for Broken Heart yang digawangi oleh markom IIDN Lygia Pecanduhujan. Selain informasi audisi antologi, saya juga menunggu informasi mengenai alamat-alamat media, khususnya media yang menerima artikel Travel Writing. Alhamdulillah, salah satu artikel perjalanan saya akhirnya diterbitkan di Republika edisi 10 Juli 2012.

Setelah 10 bulan menunggu, di akhir Februari 2013 saat yang dinanti-nanti tiba : Travel Writing 101 diterbitkan oleh Elex Media Komputindo! Saya pun menyebarkan berita gembira ini di Komunitas IIDN. Sebagai sarana untuk memperkenalkan buku ini, saya bekerjasama dengan Duta Buku IIDN untuk menyelenggarakan kuis. Melihat animo para peserta kuis, terlihat bahwa banyak ibu-ibu khususnya anggota Komunitas IIDN yang berminat untuk menulis karya travel writing, dan buku ini bisa menjadi jawaban atas keingintahuan mengenai travel writing tersebut.



Ya, walaupun selama ini travel writing lebih identik dengan para backpacker atau mereka yang bepergian ke tempat yang eksotik. Namun sejatinya, tidak ada batasan bahwa travel writing harus ditulis oleh kalangan tertentu, atau mengenai destinasi dengan kriteria tertentu. Bukan tidak mungkin para wanita yang tergabung dalam komunitas IIDN dapat memberikan sentuhan tersendiri pada artikel-artikel travel writing, khususnya melihat pengalaman suatu perjalanan dari sudut pandang wanita. Dan saya berharap, para anggota komunitas IIDN dapat turut menyebarkan virus Travel Writing ini, untuk bersama-sama menggugah para wanita dalam melakukan perjalanannya dan berbagi pengalaman perjalanan tersebut melalui travel writing.


Note: posting dimuat di http://iidn.satukan.com/2013/05/menyebar-virus-travel-writing-bersama-iidn/