Kamis, 25 Juni 2020

Sosrokartono, Si Jenius Dari Timur

Kita mengenal Raden Ajeng Kartini sebagai pelopor kebangkitan perempuan Indonesia. Namun sesungguhnya Kartini jauh lebih besar daripada itu. Belakangan terungkap, saat berkorespondensi dengan sahabat-sahabat penanya, Kartini telah menuangkan gagasannya mengenai konsep kebangsaan. Surat-surat Kartini tentang gagasan kebangsaan telah menginspirasi banyak pihak, termasuk para pelajar STOVIA, yang di kemudian hari mendirikan Boedi Oetomo, organisasi modern pertama yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia melalui jalur pergerakan.

Di balik sosok Kartini, sejatinya terdapat sosok penting yang menjadi sumber inspirasi bagi Kartini. Sosok tersebut adalah Raden Mas Pandji Sosrokartono, kakak kandung Kartini. Beliau adalah kakak kesayangan Kartini, yang selalu memotivasi dan mendorong cita-cita mulia Kartini, dan memiliki andil sangat besar dalam membentuk pribadi Kartini. Dalam surat-suratnya, Kartini menyebut Kartono, nama panggilan beliau, sebagai satu-satunya orang yang menaruh simpati terhadap gagasan-gagasannya.

Kartono lahir di Pelemkerep, Mayong, pada 10 April 1877. Sebagai anak priyayi, Kartono mengenyam pendidikan yang memadai. Kartono merupakan generasi pertama orang Indonesia yang bersekolah di Belanda – tepatnya di Jurusan Bahasa dan Kesusastraan Timur Universitas Leiden -- dan lulus jadi sarjana pada tahun 1908.

Lukisan Diri RM Pandji Sosrokartono
koleksi Museum RA Kartini, Jepara

Setelah lulus dari Leiden, Kartono tidak pulang ke Hindia Belanda, ia ingin menimba ilmu dan mencari pengalaman lebih banyak di Eropa. Proses pencarian pengalaman ini didukung oleh kejeniusan Kartono, sekaligus kemampuannya sebagai seorang poliglot, atau menguasai beberapa bahasa asing. Diketahui setidaknya Kartono menguasai 26 bahasa asing, yaitu 9 bahasa asing Timur dan 17 bahasa asing Barat. Karena kejeniusannya, orang-orang Eropa menjuluki dirinya sebagai "Si Jenius dari Timur".

Kartono masih berada di Eropa ketika Perang Dunia I meletus pada 1917. Ia mendaftarkan diri menjadi jurnalis perang di Eropa untuk surat kabar ternama terbitan Amerika Serikat, The New York Herald Tribune. Sebagai wartawan perang, Kartono ditempatkan dalam pasukan Sekutu agar lebih leluasa bergerak, serta diberi pangkat mayor oleh Panglima Perang Amerika Serikat.

Ketika Perang Dunia I berakhir di penghujung tahun 1918, kemampuan poliglotnya membuat Kartono dipercaya menjadi juru bahasa tunggal Blok Sekutu. Pada tahun 1919, Kartono ditunjuk sebagai juru bahasa Liga Bangsa-Bangsa, yang merupakan cikal bakal Perserikatan Bangsa-Bangsa. Tahun 1921, Kartono merangkap jabatan sebagai atase kebudayaan di Kedutaan Perancis di Den Haag.

Geram melihat arah politik Liga Bangsa-Bangsa yang tak netral, Kartono memutuskan pulang ke tanah air. Namun kehidupannya setelah Kembali ke Hindia Belanda tak seindah ketika Kartono tinggal di Eropa. Kartono sempat tak punya pekerjaan. Beberapa kali Kartono ditawari pekerjaan oleh pemerintah Hindia Belanda, di antaranya adalah sebagai direktur museum Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (sekarang Museum Nasional). Namun tawaran-tawaran ini ditolak Kartono, karena ia tidak ingin meminta belas kasihan pemerintah kolonial.

Kartono kemudian menemui Ki Hajar Dewantara, yang kemudian menawarinya menjadi Direktur Perguruan Taman Siswa di Bandung. Ki Hajar juga mengijinkan Kartono membangun perpustakaan di Gedung Taman Siswa. Namun Kartono hanya beberapa tahun mengabdi di Taman Siswa. Tahun 1927, tanpa penyebab yang jelas, Kartono mengundurkan diri dari Taman Siswa.

Replika Suasana Rumah Dar Oes-Salam
di Museum RA Kartini, Jepara

Tiga tahun setelah keluar dari Taman Siswa, Kartono mendirikan rumah penyembuhan di rumahnya di Jl. Pungkur No. 7, Bandung, dengan nama Dar-Oes-Salam, yang berarti “Tempat yang Damai”. Beliau dikenal sebagai “Dokter Air Putih” karena selalu memberi pengobatan dengan air dan sarana aksara “Alif” (huruf pertama dalam aksara Arab). Sejak belia, Kartono memang sudah dikenal memiliki kemampuan supranatural, dan pandai dalam bidang pengobatan. Saat tinggal di Jenewa tahun 1920, ia berhasil menyembuhkan anak seorang kenalannya hanya dengan menempelkan tangan di dahi pasien. Sebagai seorang ahli kebatinan dan spiritual yang sangat dihormati di Bandung, rumah Kartono tak pernah sepi pengunjung,

Hiasan Dinding Bertulisan "Alif"
Koleksi Museum RA Kartini, Jepara

Selama di Bandung, Kartono lebih dikenal sebagai “Ndoro Sosro”. Kartono menyebut dirinya sendiri sebagai “Mandor Kloengsoe” (klungsu = biji asam). Beliau memang mengibaratkan dirinya seperti biji pohon asem: kecil, namun menjadi sebab tumbuhnya pohon asem yang besar dan rimbun. Beberapa panggilan dan julukan lain yang disematkan kepada beliau adalah “Joko Pring” (bujangan seperti pohon bambu), wonderdokter, juragan dokter cai pengeran, dokter alif, Oom Sos, atau Eyang Sosro.

Ndoro Sosro a.k.a. Mandor Kloengsoe,
Foto Koleksi Museum RA Kartini Jepara

Di masa awal pendudukan Jepang tahun 1942, kesehatan Sosrokartono mengalami kemunduran, hingga mengalami kelumpuhan. Kondisi kesehatannya tidak berangsur membaik, dan pada 8 Februari 1952 beliau wafat di Bandung, setelah selama 2,5 tahun berjuang sekuat tenaga dalam kelumpuhan dan kepayahan. Pemerintah memfasilitasi untuk menerbangkan jenazah beliau ke Semarang, dan kemudian dimakamkan di Sedo Mukti, Desa Kaliputu, Kudus.