Jumat, 30 April 2021

Pemimpin Perempuan Untuk Generasi Yang Lebih Baik

"Bukan laki-laki yang hendak kami lawan, melainkan pendapat kolot dan adat usang." -Raden Adjeng Kartini-


Setiap bulan April kita memperingati Hari Kartini, untuk mengenang jasa Raden Ajeng Kartini sebagai tokoh emansipasi perempuan. Namun sejatinya, “emansipasi perempuan” yang selalu dikaitkan dengan RA Kartini bukanlah gerakan feminisme dalam arti yang sempit. Kartini menyadari bahwa perempuan yang terdidik bukan sekadar memberikannya kebebasan dari kekangan yang membatasi perempuan untuk berkembang dan maju. Lebih dari itu, Para perempuan yang terdidik akan mampu menjalankan kodratnya sebagai ibu, untuk mendidik anak-anaknya menjadi generasi penerus yang lebih baik.

Peran perempuan sebagai pendidik pertama ini merupakan bentuk dari kepemimpinan perempuan. Kepemimpinan perempuan – tepatnya kepemimpinan ibu -- adalah hal pertama yang dirasakan oleh anak-anaknya. Seringkali karakter kepemimpinan perempuan sebagai ibu pun terbawa hingga di lingkungan di luar rumah, termasuk di komunitas atau di tempat kerja. Namun karakter kepemimpinan perempuan yang khas inilah yang menjadi keunggulan para perempuan yang berperan sebagai pemimpin. Sebut saja kemampuan multitasking, memiliki kepekaan, memiliki keluwesan dalam bergaul maupun berkomunikasi, lebih rajin, lebih teliti – hal-hal ini membuat perempuan memiliki cara memimpin yang berbeda dengan laki-laki.

Walaupun saat ini perempuan sudah banyak memiliki kesempatan untuk maju dan berkembang, namun seringkali perempuan terhambat oleh beberapa faktor. Faktor-faktor ini dapat dikelompokkan menjadi dua jenis fenomena. Fenomena yang pertama adalah Glass Ceiling Effect, di mana ketika perempuan mencoba meraih posisi yang lebih tinggi, ia bisa melihat posisi itu, namun ada batasan yang tidak nampak. Hal ini bisa disebabkan adalah sikap stereotyping, prejudice, dan memandang kedudukan perempuan lebih rendah daripada laki-laki. Sedangkan fenomena yang kedua adalah Sticky Floor Effect, di mana hambatan untuk maju sudah ditemui perempuan sejak awal berkarir, misalnya akibat budaya kerja yang maskulin, kondisi keluarga, atau bahkan dari sang perempuan sendiri yang tidak yakin akan kemampuannya, membuat perempuan takut berambisi untuk meraih prestasi yang lebih tinggi.

Bagaimana cara mengatasi kedua fenomena yang bisa menghambat kemajuan perempuan? Inilah tantangan perempuan untuk menunjukkan bahwa kualitas kepemimpinan perempuan sama baiknya dengan para lelaki. Perempuan harus dapat memiliki sikap yang positive thinking, tangguh, pantang menyerah, memanfaatkan keluwesannya untuk membangun network yang luas, serta memiliki dedikasi tinggi untuk menunjukkan hasil pekerjaan terbaik. 

Jika kita kembali kepada kodrat perempuan sebagai ibu, ibu adalah pemimpin pertama yang memimpin dan mendidik anak-anaknya. Kepemimpinan ibu dapat juga diterapkan di tempat lain, termasuk di komunitas dan di tempat kerja. Banyak perempuan yang sukses dalam kepemimpinannya, dengan memposisikan dirinya sebagai seorang ibu. Seperti seorang ibu, pemimpin perempuan dapat membimbing bawahannya, membangun kepercayaan, memberi semangat, nasehat, dan memberi dukungan. Pemimpin perempuan – seperti halnya seorang ibu – juga harus menjadi role model, memberi keteladanan sebagai pemimpin yang handal dan bertanggung jawab, sekaligus adil kepada orang-orang di sekitarnya. Dengan mengambil peran sebagai “ibu”, pemimpin perempuan bisa menciptakan suasana yang solid dan harmonis, seperti halnya seorang ibu yang menjaga keharmonisan keluarganya.

Barangkali timbul pertanyaan, bagaimana jika kita – perempuan – belum memiliki anak, atau bahkan masih melajang? Apakah kita akan mampu memimpin dengan mengambil peran sebagai ibu? Menurut saya, kodrat sebagai ibu melekat di setiap perempuan, apakah perempuan itu memiliki anak, tidak memiliki anak, dan bahkan perempuan yang lajang sekalipun. Kenali diri kita sebagai perempuan, kenali kelebihan atau keunggulan kita sebagai perempuan, dan implementasikan kelebihan tersebut dalam aktivitas kita sehari-hari, sehingga kita bisa memberikan kepemimpinan yang handal dan penuh rasa tanggung jawab, tanpa meninggalkan karakter kita sebagai perempuan. Dan dengan berperan sebagai ibu dalam kepemimpinan kita, kita turut memberikan kontribusi untuk menjadikan generasi penerus yang lebih baik.


When You Educate a Man, you educate a man. 

When you educate a woman, you educate a generation.


(Tulisan ini dibuat dalam rangka Peringatan Hari Kartini 21 April 2021)