Rabu, 22 Juli 2020

Goededag, Vliegveld Tjililitan!

Vliegveld Tjililitan, 24 November 1924. Fokker VII nomor registrasi NAHCC baru saja mendarat di Vliegveld Tjililitan, Batavia setelah take off dari Muntok dalam rangka menyelesaikan tahapan akhir rute Amsterdam-Batavia. Pesawat yang lepas landas dari Schippol pada tanggal 1 Oktober 1924 ini baru saja menyelesaikan 55 hari perjalanannya, sekaligus menjawab “tantangan” membuka rute penerbangan dari Belanda ke Hindia Belanda.

Salah satu DC-3 yang pernah digunakan TNI AU

Inilah peristiwa bersejarah yang pernah terjadi di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, atau awalnya bernama Vliegveld Tjililitan. Vliegveld Tjililitan dibangun pada tahun 1915 untuk melayani penerbangan sipil domestik. Lahan yang digunakan untuk Vliegveld Tjililitan semula merupakan tanah partikelir bernama Tandjoeng Oost yang dimiliki oleh Pieter van der Velde. Adanya pendaratan Fokker VII NAHCC tahun 1924 menandai peristiwa penting yang mengubah fungsi Vliegveld Tjililitan menjadi bandara internasional pertama di Hindia Belanda.

Vliegveld Tjililitan “berhenti sementara” sebagai tempat pendaratan pesawat-pesawat dari Eropa pada tahun 1940, ketika fungsi bandara komersial internasional dipindahkan ke Vliegveld Kemajoran. Pada masa Perang Dunia, seiring meningkatnya kebutuhan militer, Vliegveld Tjililitan beralih fungsi menjadi lapangan udara militer. Fungsi ini berlanjut ketika pada tahun 1946, Vliegveld Tjililitan menjadi basis Militaire Luchtvaart van het Koninklijk Nederlands-Indisch Leger (ML-KNIL atau Angkatan Udara KNIL).

Sebagai salah satu hasil Konferensi Meja Bundar tahun 1949 di Den Haag, pemerintah Belanda diwakili oleh Kepala Militaire Luchtvoort (Penerbangan Militer) menyerahkan Vliegveld Tjililitan kepada pemerintah Indonesia pada 20 Juni 1950. Diterima oleh KSAU Komodor Udara Soerjadi Suryadarma, Vliegveld Tjililitan diperuntukkan sebagai pangkalan udara militer sekaligus markas Komando Operasi Angkatan Udara I TNI-AU. Tanggal 17 Agustus 1952, nama Lapangan Udara Tjiilitan kemudian diganti menjadi Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, sebagai penghormatan kepada Marsekal Muda TNI (Anumerta) Abdul Halim Perdanakusuma yang gugur pada tanggal 14 Desember 1947 ketika pesawat yang diterbangkannya bersama Marsekal Muda TNI (Anumerta) Iswahjoedi jatuh di Tanjung Hantu, Semenanjung Malaya.

Suasana Bandara Halim dari dalam pesawat

Namun fungsi Lapangan Udara Halim Perdanakusuma sebagai pangkalan udara militer ternyata tidak berlangsung selamanya. Tahun 1974, Bandara Halim Perdanakusuma kembali melayani penerbangan komersial sebagai pendamping Bandara Kemayoran untuk penerbangan internasional. Setelah Bandara Kemayoran ditutup secara resmi pada 1 Mei 1985 dan seluruh penerbangan komersial dipindahkan ke Bandara Soekarno-Hatta, Bandara Halim Perdanakusuma kembali berfokus pada kepentingan penerbangan militer. Dan seperti kita ketahui, sejak tahun 2014, Bandara Halim Perdanakusuma kembali menjalani dua fungsi sebagai pangkalan udara militer sekaligus melayani penerbangan komersial, untuk mengurangi kepadatan penerbangan di Bandara Soekarno-Hatta.

Hanggar Skadron Udara 31

Di antara hanggar yang diserahkan oleh ML-KNIL kepada TNI-AU di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma pada tahun 1950, salah satunya adalah hanggar yang digunakan Skadron Udara 31 Satuan Udara Angkut Berat. Hanggar ini merupakan hanggar beton dari masa Hindia Belanda, dan masih berdiri dengan kokoh hingga hari ini. Saat ini hangar Skadron Udara 31 merupakan “rumah” bagi armada Lockheed Martin C-130 Hercules, pesawat angkut berat buatan Amerika Serikat. Sejak dibuat pertama kali tahun 1954, pesawat itu telah sukses menjalani berbagai misi militer dan sipil, dan telah berkembang dalam berbagai jenis varian.

Armada Hercules TNI AU di Halim

Keberadaan Hercules di Indonesia memiliki kisah yang menarik, karena Indonesia merupakan negara pertama di luar Amerika Serikat yang menggunakan Hercules. Generasi pertama Hercules di Indonesia merupakan “hadiah” dari pemerintah Amerika Serikat atas penukaran tawanan pilot CIA Allen Pope yang terlibat membantu pemberontakan Permesta di Sulawesi pada tahun 1958. Ketika Presiden AS JFK menawari hadiah, Soekarno meminta ditunjukkan pesawat Hercules yang saat itu masih baru. Indonesia kemudian menerima 10 pesawat Hercules yang menjadi embrio lahirnya Skadron Angkut Berat Jarak Jauh TNI AU.

Tugu Sapta Marga

Satu hal yang tidak banyak orang tahu, di dalam area Vliegveld Tjililitan pernah terdapat Ereveld Tjililitan, yang merupakan kompleks pemakaman militer. Sangat umum di masa Perang Dunia II lapangan udara militer memiliki makam di dekatnya, untuk memakamkan korban perang, korban kecelakaan pesawat, atau tokoh Angkatan Udara yang wafat. Saat ini pemakaman tersebut sudah tidak ada karena pada tahun 1968 dipindahkan ke Ereveld Menteng Pulo, sesuai perjanjian sentralisasi makam Belanda. Di tempat yang diduga pernah menjadi lokasi Ereveld Tjililitan, terdapat hutan kecil yang ditandai Monumen Sapta Marga. Sedangkan makam yang semula berada di Ereveld Tjililitan dimakamkan dalam satu blok di Ereveld Menteng Pulo, ditandai dengan tugu berbentuk baling-baling pesawat dan prasasti bertuliskan “ter nagedachtenis aan onze gevallen kameraden” yang artinya kira-kira: “Untuk rekan-rekan kami yang telah jatuh”.

Blok Tjililitan di Ereveld Menteng Pulo


1 komentar:

  1. Saya ikut webinarnya ibu di NgeShare tanggal 26 Juli 2020..

    Sangat inspiratif.
    Sukses Untuk Ibu dan Kita Semua Ke depannya


    Salam,
    Luki Transafe


    TransafeIndonesia.id

    BalasHapus